“ASEAN Outlook on the Indo-Pacific”: Langkah ASEAN dan Peran Indonesia Dalam Menghadapi Perubahan Geopolitik di Kawasan Indo-Pasifik
Oleh Hafiz Ghifari Berlianto
Perubahan kondisi geopolitik di kawasan Indo-Pasifik membawa dampak yang sangat besar bagi negara-negara yang terdapat di kawasan tersebut, khususnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kawasan Indo-Pasifik mempunyai posisi yang strategis dari berbagai aspek seperti ekonomi, politik, dan militer terutama jalur laut yang melalui kawasan Asia Tenggara seperti Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Persaingan antara dua kekuatan besar dunia yakni Amerika Serikat atau AS dan Cina dalam bidang militer di kawasan Indo-Pasifik juga membuat negara-negara lain seperti di Asia Tenggara mau tak mau harus mengambil peran yang lebih besar dalam memastikan keamanan dan kestabilan kawasan tetap terjamin. Bagi ASEAN yang merupakan organisasi utama bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, usaha mereka dalam merespon berbagai perubahan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik bisa dilihat dari diadopsinya dokumen yang berjudul The ASEAN Outlook on the Indo-Pacific atau AOIP pada pertemuan ke-34 ASEAN di Bangkok, Thailand di bulan Juni 2019. Dokumen ini menggambarkan keseriusan ASEAN dalam menyikapi berbagai tantangan khususnya dalam bidang keamanan di kawasan Indo-Pasifik.
Untuk dapat mengetahui urgensi dari disepakatinya AOIP oleh seluruh anggota ASEAN, kita harus mampu mengetahui juga apa yang dimaksud dengan kawasan Indo-Pasifik itu sendiri. Indo-Pasifik sebagai suatu konsep pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli strategi maritim dari India yang bernama Guurpet S. Kurana pada tahun 2007. Indo-Pasifik sendiri merujuk pada dua wilayah lautan yang sangat luas yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dan juga secara tidak langsung sudah menggantikan konsep Asia-Pasifik untuk menyebut wilayah yang hampir sama secara persebaran geografis. Konsep Indo-Pasifik menekankan berbagai dinamika yang terjadi di wilayah laut di antara Samudra Hindia dan Pasifik. Perkembangan konsep Indo-Pasifik juga diikuti dengan berkembangnya kemungkinan munculnya persaingan antara negara-negara besar atau great powers competition khususnya antara AS dan Cina. Selain rivalitas antara kedua negara tersebut, perkembangan ekonomi di kawasan Indo-Pasifik juga mempunyai peranan penting. Negara-negara di kawasan Indo-Pasifik juga mempunyai Gross Domestic Product atau GDP yang cukup besar, lebih dari 60 persen GDP global.
Sebelum ASEAN mengesahkan AOIP sebagai dokumen yang akan mengatur strategi mereka dalam menghadapi perubahan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik di tahun 2019, sudah ada beberapa negara lain yang mengeluarkan strategi mereka masing-masing untuk menghadapi kondisi serupa. Konsep Free and Open Indo-Pacific atau FOIP AS yang diperkenalkan pada tahun 2017 dan juga pembangunan sebuah aliansi antara AS dengan tiga negara sekutunya di kawasan Asia-Pasifik yaitu Australia, India, dan Jepang di dalam Quadrilateral Security Dialogue atau QUAD merupakan contoh dari usaha yang dilakukan oleh AS dalam merespon perubahan di kawasan Indo-Pasifik. Negara-negara lain di kawasan pun juga mengeluarkan berbagai strateginya masing-masing. Sebagai contoh, pada tahun 2017 Jepang mengeluarkan Free and Open Indo-Pacific Strategy dalam menyikapi perubahan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. RRT sendiri juga mengeluarkan strateginya sendiri, seperti dengan selalu menekankan pada konsep nine-dash line untuk memperkuat klaim wilayahnya di kawasan Laut Cina Selatan, yang kemudian juga menyulut konflik dengan negara-negara ASEAN terutama mereka yang mempunyai klaim serupa di kawasan tersebut.
Penyusunan AOIP didasari pada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah perkembangan konflik antara AS dan RRT. ASEAN sebagai organisasi utama di kawasan Asia Tenggara yang sudah berusaha untuk mengatur persaingan antar negara besar di kawasan menyadari bahwa memasuki abad ke-21 cara-cara yang sudah digunakan sebelumnya mulai tidak relevan. Berkembangnya kekuatan RRT di bidang ekonomi dan kemudian militer di awal abad ke-21 menarik perhatian dari kekuatan besar dunia lainnya yaitu AS. AS melihat RRT akan berusaha menantang mereka yang selama bertahun-tahun lamanya menjadi kekuatan utama di kawasan Asia Timur dan Indo-Pasifik secara keseluruhan. RRT juga dilihat sebagai sebuah kekuatan yang berusaha untuk mengubah tatanan dunia untuk memenuhi kepentingan nasionalnya.
Berbagai proyek yang diinisiasi oleh RRT seperti Belt and Road Initiative atau BRI oleh sejumlah pihak disebut sebagai “Marshall Plan”nya RRT diduga digunakan untuk memberikan negara tersebut keuntungan politik dari negara-negara yang setuju bergabung di dalamnya. Tentu hal ini dibantah oleh RRT, namun tidak menutup kemungkinan berkembangnya perekonomian RRT membuat mereka dapat meluaskan pengaruh mereka secara perlahan di tingkat global.
Dalam menyikapi perubahan geopolitik di sekitarnya, ASEAN telah mencoba berbagai cara dalam menghadapi persaingan antara kekuatan besar. Cara-cara tersebut antara lain adalah dengan memanfaatkan persaingan antara kekuatan besar dengan cara membiarkan negara-negara besar seolah-olah bersaing sementara negara-negara ASEAN mampu bekerja sama di satu sisi dan melihat negara-negara besar saling bersaing memperebutkan pengaruh di sisi lain. ASEAN juga meluncurkan berbagai forum multilateral regional untuk membantu menyelesaikan permasalahan di kawasan termasuk dalam bidang keamanan dan politik seperti East Asia Summit atau EAS, ASEAN Regional Forum atau ARF dan terakhir adalah ASEAN Defence Ministers Meeting Plus atau ADMM-Plus. Melalui berbagai forum ini, ASEAN menggunakan pendekatan non-kekerasan dan lebih mengutamakan dialog dan membangun kerjasama dengan semua pihak tanpa terkecuali. Pendekatan ini memang merupakan bagian dari ciri khas ASEAN yang lebih mengutamakan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan masalah di kawasan. Cara-cara yang digunakan memang efektif dalam memastikan tidak adanya konflik bersenjata di kawasan, namun ASEAN dalam jangka panjang terlihat tidak mampu menekan secara diplomatik negara-negara yang lebih besar.
Penyusunan AOIP sebagai sebuah strategi bersama tidak dilakukan dalam waktu yang singkat. Konsepsi tentang AOIP sendiri digagas oleh Indonesia oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada tahun 2013 untuk menghadapi berbagai perubahan di kawasan. Mengingat pada waktu itu kekhawatiran atas perubahan geopolitik belum terlalu besar, maka pada waktu itu konsep ini belum mendapatkan perhatian besar. AOIP sendiri merupakan sebuah kesepakatan yang disusun untuk tidak menggantikan berbagai mekanisme penyelesaian masalah dan kesepakatan sebelumnya yang telah berlaku, melainkan untuk menguatkan mekanisme-mekanisme yang ada. Indonesia di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo kemudian berupaya untuk mengajak negara-negara ASEAN yang lainnya untuk menyusun sebuah konsep yang akan menjadi dasar strategi ASEAN dalam menghadapi berbagai dinamika di kawasan Indo-Pasifik. Penyusunan AOIP sendiri bukan tanpa halangan. Selama tahun 2018 hingga awal 2019 dalam berbagai rapat yang dilakukan oleh ASEAN untuk menyusun dokumen final AOIP, terdapat berbagai perbedaan antara negara anggotanya mengenai poin-poin yang akan dituliskan di dalam dokumen akhir mengenai AOIP.
Berbagai kendala yang dihadapi oleh ASEAN dalam menyusun dokumen AOIP antara lain adalah kekhawatiran bahwa waktu penyusunannya kurang lama dan tidak adanya penyebutan mengenai apapun tentang kerjasama militer di kawasan Indo-Pasifik. Khusus mengenai penyebutan kerjasama militer, hal ini dimaksudkan untuk tetap memperlihatkan netralitas ASEAN dalam menyusun dokumen ini, dan juga menghindari kekhawatiran Cina yang saat penyusunan dokumen ini masih terlibat persaingan dengan AS. Proses negosiasi selama berbulan-bulan yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN mengenai AOIP akhirnya membuahkan hasil dalam pertemuan ke-34 ASEAN di Bangkok, Thailand yang berlangsung pada tanggal 20–23 Juni 2019. Pengesahan AOIP ini menandakan keberhasilan ASEAN menyatukan perbedaan mereka dalam menyikapi perubahan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. AOIP sendiri menaruh perhatian pada bidang maritim, konektivitas, pembangunan berkelanjutan, dan ekonomi. Dalam dokumen asli mengenai pengesahan AOIP, disebutkan juga tentang berbagai penyebab disusun dokumen tersebut, seperti perubahan geopolitik yang terus terjadi di Samudra Hindia dan Pasifik.
Penyusunan AOIP memiliki arti penting bagi ASEAN. Kini mereka telah memiliki pedoman sendiri dalam menyikapi dinamika geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. AOIP sendiri juga mendukung penguatan berbagai mekanisme kerjasama multilateral ASEAN yang sebelumnya telah banyak digunakan untuk mengatasi permasalahan regional seperti EAS. AOIP juga memperkuat berbagai prinsip yang digunakan oleh ASEAN seperti terbuka, inklusif, dan transparansi. Melalui AOIP juga, ASEAN telah secara perlahan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi perubahan yang dapat mengancam kestabilan kawasan, sehingga AOIP adalah sebuah kebutuhan strategis bagi ASEAN itu sendiri. AOIP juga mampu menjawab kekhawatiran bahwa ASEAN sebagai organisasi utama di kawasan tidak akan mampu menjaga kestabilan kawasan dengan meningkatnya ketegangan di kawasan Indo-Pasifik. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, ASEAN masih mampu memperlihatkan pengaruhnya khususnya secara diplomatik di kawasan. Perlu dilihat juga bahwa AOIP sendiri masih mempunyai berbagai kelemahan dasar yang masih perlu untuk dibenahi kedepannya. AOIP sendiri dimaksudkan sebagai sebuah panduan strategi, bukan sebagai sebuah kesepakatan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam AOIP sendiri tidak dijelaskan dengan rinci tentang mekanisme penyelesaian masalah, hanya menyebutkan cara-cara yang sebenarnya kurang efektif seperti ASEAN akan memfokuskan penyelesaian masalah melalui forum yang telah ada seperti EAS.
Pengesahan AOIP tidak akan mampu dicapai tanpa kerja keras negara yang mengusulkannya, yang tidak lain adalah Indonesia. Sebagai negara penggagas, Indonesia memperjuangkan AOIP untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maupun kepentingan bersama dengan negara-negara lain. Kepentingan yang diperoleh oleh Indonesia dalam pengesahan AOIP di dapat dalam berbagai sektor, seperti ekonomi dan pertahanan. Dalam bidang ekonomi, Indonesia berupaya untuk terus dapat memperkuat infrastruktur kemaritiman seperti pembangunan tol laut dan pelabuhan baru dengan mendapatkan investasi dari luar. Dalam bidang pertahanan, Indonesia terus berupaya memperkuat kekuatan angkatan lautnya dan juga menyelesaikan permasalahan di tingkat regional terutama masalah keamanan maritim melalui penguatan mekanisme-mekanisme yang telah ada. Pengesahan AOIP juga memperlihatkan kepimpinan Indonesia di ASEAN yang mampu menyatukan perbedaan pendapat antara negara anggota yang lain dan kemudian secara bersama-sama menyepakati usulan dari Indonesia tentang strategi bersama untuk menghadapi perubahan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik.
AOIP sendiri juga sejalan dengan visi Presiden Indonesia Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai sebuah kekuatan maritim dunia. Untuk mencapai Indonesia tujuan ini, Indonesia juga berupaya untuk membangun dirinya sebagai sebuah Poros Maritim Dunia atau PMD, karena terletak di antara dua lautan yaitu Samudra Hindia dan Pasifik yang memiliki intensitas pelayaran yang cukup ramai. Strategi ini memperlihatkan keseriusan Indonesia dalam membangun pengaruhnya sendiri di kawasan Indo-Pasifik di tengah-tengah persaingan antara kekuatan besar seperti AS dan Cina dan perkembangan sengketa wilayah di Laut Cina Selatan yang tidak kunjung usai hingga hari ini. Bagi Indonesia, usaha mereka dalam memperjuangkan pengesahan AOIP merupakan sebuah awal dari perjuangan yang masih akan terus berlanjut. Untuk sementara waktu, ASEAN telah menyepakati sebuah strategi bersama dalam menghadapi berbagai perubahan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. Dalam jangka panjang, masih banyak pr yang harus dibenahi oleh ASEAN dan khususnya Indonesia dalam menyikapi berbagai dinamika di kawasan. Berbagai pr ini termasuk mempersiapkan mekanisme penyelesaian masalah yang lebih kuat dan lebih mengikat secara hukum, terus melakukan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang memiliki permasalahan dengan ASEAN seperti Cina termasuk dalam konflik di Laut Cina Selatan, dan tidak menutup diri dari memakai cara-cara militer untuk menyelesaikan permasalahan di kawasan.
Sumber & Referensi:
Almutaqqi, A. I. (peny.). (2019). ASEAN and the Indo-Pacific: Beyond the Outlook. ASEAN Briefs, 1–12.
ASEAN. ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. 2021.
Castro, R. C. D. (2021). Under the shadow of the giants: The ASEAN in search of a common strategy in a fluid and perilous Indo-Pacific region. Asian Journals of Comparative Politics, 1–20.
Ha, H. T. (2019). ASEAN Outlook on the Indo-Pacific: Old Wine in New Bottle?. ISEAS Perspective 51, 1–8.
Pangestu, L. G., Hikmawan, R., dan Fathun L. M. (2021). Strategi Indonesia Mewujudkan ASEAN Outlook On Indo-Pacific (AOIP) untuk Mewujudkan Stabilitas di Kawasan Indo-Pacific. Proyeksi: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 1, 1–22.
Roza, R. (2019). Pandangan ASEAN Terhadap Indo-Pasifik. Info Singkat 12, 7–12. Sukma, R. (2019). Indonesia, ASEAN, and the Indo-Pacific, Strategic Necessity or Norm-Setting Exercise?. CSIS Lecture Series on Regional Dynamics, 1–7.
Wulandari, K. T., Sushanti, S., dan Putri, P. K. Kepentingan Indonesia Dalam Menginisiasi Pembentukan ASEAN Outlook On Indo-Pacific (AOIP) Tahun 2017. 1–15.