Akhir dari Nasionalisme Tiongkok: Persaingan Nasionalis (Guo Min Dang) dan Komunis (Gong Chan Dang)

Studi Klub Sejarah UI
7 min readJul 20, 2022

--

Oleh Asep Abdurahman

Proses Terbentuknya Nasionalisme di Tiongkok

Selama periode dinasti Qing berkuasa di Tiongkok, kedudukan bangsa Han sangatlah lemah. Dinasti Qing yang oleh bangsa Tiongkok (bangsa Han) dianggap sebagai bangsa asing terus melakukan penindasan dan penyingkiran peran bangsa Han dalam pemerintahan. Struktur pemerintahan dalam dinasti Qing didominasi oleh bangsa Manchu yang berasal dari utara Tiongkok menimbulkan ketidakpuasaan bagi bangsa Han karena menurut mereka bangsa merekalah yang seharusnya mengisi jajaran pemerintahan di istana.

Peta kekuasaan Dinasti Qing (1644–1911)

Kekuasaan dinasti Qing yang bertahan cukup lama disebabkan oleh proses akulturasi yang dilakukan penguasa awal dinasti Qing dengan melebur ke dalam budaya Tiongkok. Sebagian cara berpakaian dan model pemerintahan yang dianut oleh penguasa yang berasal dari bangsa Manchu ini mengadopsi dari dinasti-dinasti terdahulu yang pernah eksis di Tiongkok. Bahkan, jika diperhatikan ciri fisik antara bangsa Manchu dan bangsa Han hampir tidak ada perbedaan selain asal kedua bangsa ini. Bangsa Han berasal dari sekitar timur dan selatan daratan Tiongkok yang merupakan lembah atau dataran rendah. Sedangkan, bangsa Manchu berasal dari utara daratan Tiongkok (sekarang dekat perbatasan Rusia) yang merupakan dataran tinggi.

Menjelang akhir abad ke-19 penguasa dinasti Qing terus mengalami tekanan yang berat baik yang berasal dari dalam negeri (nasionalisme bangsa Han) maupun dari luar negeri (Eropa, Jepang, dan Rusia). Kemenangan Jepang atas Tiongkok dalam perang Jepang-Tiongkok tahun 1895 dan Gerakan Boxer yang terjadi pada tahun 1900 tidak menguntungkan posisi dinasti Qing selaku penguasa tunggal atas Tiongkok ketika itu. Setelah mengalami kerugian akibat dua peristiwa tersebut, akhir kekuasaan bangsa Manchu sebagai penguasa Tiongkok berada di ujung tanduk. Menjelang keruntuhan dinasti Qing, seorang kaisar bernama Guang Xu Di (光绪帝) sempat berupaya memodernisasi Tiongkok sebagai cara mencegah keruntuhan kuasa bangsa Manchu, akan tetapi tindakannya ditentang oleh ibu suri Ci Xi Tai Hou (慈禧太后) dan berhasil mengkudeta Guang Xu Di pada tahun 1898 atau setidaknya menjadi kaisar bayangan sampai meninggal 10 tahun kemudian.

Memanfaatkan kelemahan otoritas istana selama satu dekade pertama abad ke-20 telah membangkitkan kepercayaan diri bangsa Han (Tiongkok) untuk kembali merebut kekuasaan yang telah dirampas oleh bangsa Manchu selama 3 abad lamanya. Setelah kegagalan pembaharuan dan modernisasi yang dilakukan dinasti Qing, pada tahun 1912 secara resmi dinasti Qing dibubarkan, kemudian kaisar terakhir bernama Pu Yi (溥仪) yang baru berusia enam tahun turun tahta sesaat setelah Revolusi Xin Hai yang diinisiasi oleh Nasionalis Tiongkok meluas pengaruhnya hampir di seluruh Tiongkok. Presiden pertama, yaitu Sun Yi Xian (孙逸仙) atau yang lebih dikenal sebagai Sun Yat Sen memerintah Republik Tiongkok dalam waktu singkat karena dipaksa turun oleh seorang jenderal sekaligus mantan Perdana Menteri dinasti Qing, yaitu Yuan Shi Kai (袁世凯).

Pemerintahan Tiongkok selama kurun waktu 16 tahun (1912–1928) selalu mengalami pergantian antara pihak sipil dan pihak militer. Dalam mengisi momentum tersebut, bangsa Han berupaya mempertahankan kedaulatannya sebagai penguasa tunggal atas negeri Tiongkok dan sekitarnya. Walaupun seringkali mengalami pergantian penguasa, secara umum bangsa Han berhasil menegaskan kekuasaaannya atas hampir seluruh bekas wilayah dinasti Qing.

Perkembangan Nasionalisme di Tiongkok (1912–1949)

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasionalisme adalah suatu ajaran (paham) untuk mencintai bangsa dan negara sendii[1]. Dalam kasus bangsa Tiongkok, nasionalisme Tiongkok diartikan sebagai gerakan untuk memberikan supremasi bagi bangsa Han selaku suku bangsa mayoritas di Tiongkok. Kecintaan terhadap bangsa dan negara Tiongkok diwujudkan melalui upaya pemberontakan yang berujung pada pembubaran kekuasaan bangsa asing di Tiongkok, yaitu dinasti Qing yang merupakan penguasa Tiongkok yang berasal dari Manchu.

Setelah tahun 1928 corak nasionalisme Tiongkok secara umum terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Guo Min Dang (国民党) atau nasionalis kanan yang memiliki basis pendukung di wilayah perkotaan dan Gong Chan Dang (共产党) atau nasionalis kiri yang kemudian lebih dikenal sebagai Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang memiliki basis pendukung di wilayah pedesaan. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok terutama dalam hal ideologi yang diperjuangkan Berikut perincian mengenai perbedaan antara keduanya:

Pada masa Interbellum (antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II), negara-negara di seluruh dunia seemakin meningkatkan pengaruh politik dan kekuatan militernya. Di benua Asia, Jepang tampil sebagai calon penguasa baru dunia yang berasal dari Asia Timur. Beberapa wilayah di Asia Timur mulai dianeksasi oleh Jepang yang semenjak Restorasi Meiji telah mengembangkan kekuatan militernya dan menargetkan untuk menguasasi negeri-negeri di sekitarnya termasuk Manchuria, Korea, dan Tiongkok. Mula-mula Korea dengan mudahnya dapat ditaklukan pada tahun 1910, kemudian tentara Jepang mulai memasuki wilayah Tiongkok melalui Manchuria pada tahun 1932. Atas inisiatif Jepang maka didirikanlah negara boneka bernama Man Chu Guo (满出国) dengan menunjuk kembali kaisar terakhir bangsa Manchu (dinasti Qing) Pu Yi (溥仪) untuk naik tahta kembali pada tahun 1934.

Ekspansi Jepang yang semakin meluas semenjak 1935 semakin membahayakan kedudukan Tiongkok yang pada saat bersamaan sedang dilanda perang saudara antara nasionalis kanan dan nasionalis kiri. Ketika itu, dalam negeri Tiongkok terdapat dua pemerintahan yang eksis, yaitu Republik Tiongkok yang berada di bawah pengaruh nasionalis kanan dan Republik Soviet Tiongkok yang berada di bawah pengaruh nasionalis kiri. Kondisi ini mengakibatkan persatuan bangsa Tiongkok terpecah ke dalam dua kubu yang berlainan ideologi dan kepentingan. Dalam mengatasi masalah tersebut, kemudian timbul suatu usulan untuk menyatukan Tiongkok di bawah satu pemerintahan sah. Tindak lanjut dari usulan tersebut adalah pengukuhan Front Pembebasan Nasional (Kedua) yang merupakan aliansi antara nasionalis kanan dan nasionalis kiri yang dibentuk untuk melawan ekspansi Jepang di Asia Timur, khususnya Tiongkok.

Setelah pembentukan front persatuan tersebut, Republik Soviet Tiongkok secara berangsur-angsur meleburkan diri ke dalam pemerintahan daerah bersama Republik Tiongkok pimpinan Guo Min Dang. Bahkan, Tentara Merah yang merupakan kesatuan tentara Gong Chan Dang dimasukkan dalam satuan tentara bersama tentara Republik Tiongkok pada tahun 1937. Pada awalnya, aliansi ini masih kewalahan menghadapi kekuatan militer Jepang, akan tetapi semenjak akhir tahun 1942 setelah tanda-tanda kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya semakin terlihat jelas kekuatan militer Tiongkok bangkit dan berhasil mengusir Jepang pada tahun 1945. Secara efektif seluruh daratan Tiongkok dan Mancuhuria telah kembali menjadi bagian dari pemerintahan aliansi Front Pembebasan Nasional (Kedua) pada tahun yang sama.

Front Pembebasan Nasional (Kedua) yang diharapkan sebagai aliansi pemersatu bagi bangsa Tiongkok pasca berakhirnya Perang Dunia II tidak berjalan baik. Sebenarnya pada saat pembentukan front tersebut, pimpinan Guo Min Dang masih menaruh rasa curiga terhadap Gong Chan Dang. Bahkan, ketika Perang Jepang-Tiongkok II (1937–1941) terjadi kemenangan Tiongkok atas Jepang merupakan peristiwa di luar dugaan mengingat kurangnya koordinasi antara kedua pihak. Guo Min Dang menerapkan strategi perang terbuka, sementara Gong Chan Dang menerapkan strategi perang gerilya.

Kekalahan blok Fasis (salah satunya Jepang) diresmikan melalui Perjanjian San Fransisco. Salah satu dampak dari perjanjian tersebut adalah kesempatan bagi Tiongkok untuk menjadi pemain utama dalam percaturan dunia. Pada tahun yang sama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan dengan menempatkan Republik Tiongkok sebagai salah satu negara pemenang perang dan pemiliki hak veto di perserikatan. Namun, dalam negeri Tiongkok sendiri sebenarnya sengekta antara Guo Min Dang dan Gong Chan Dang tidak pernah benar-benar terselesaikan.

Setelah pengakuan resmi dikeluarkan pemerintah Jepang pada tahun 1946 mengenai penghentian perang di seluruh wilayah, Guo Min Dang dan Gong Chan Dang berlomba-lomba merebut wilayah yang pernah diduduki Jepang. Dalam kurun waktu 4 tahun (1945–1949) Tiongkok dibayang-bayangi oleh bahaya perang saudara yang lebih besar. Keduanya bersaing demi menentukan masa depan Tiongkok, yaitu antara di bawah kekuasaan Kapitalisme Guo Min Dang atau Sosialisme Gong Chan Dang.

Chiang Kai Sek (kiri) dan Mao Tse Tung atau Mao Zedong (kanan)

Persaingan antara pemimpin nasionalis kanan Jiang Jie Shi (蒋介石) yang kemudian lebih dikenal sebagai Chiang Kai Shek dan pemimpin nasionalis kiri Mao Ze Dong (毛泽东) ini sempat ditengahi oleh Amerika Serikat melalui utusan Presiden Truman, yaitu George Marshall. Marshall berkali-kali dianggap berhasil menciptakan gencatan senjata sementara antara kedua pihak. Namun, sikap Guo Min Dang yang menyelenggarakan suatu permusyawaratan nasional pada 4 Juli 1946 menjadi salah satu faktor kegagalan reunifikasi Tiongkok. Gong Chan Dang menganggapnya sebagai pelanggaran atas kesepakatan 10 Januari 1946 yang berisi “sebelum diselenggarakan permusyawaratan nasional perlu dibentuk pemerintahan koalisi antara Guo Min Dang dan Gong Chan Dang”. Setelah kejadian tersebut perang saudara tidak dapat dihindarkan lagi, kemudian hasil akhirnya pada tahun 1949 setelah dikuasainya Beijing, Tianjin, dan Nanking kekuasaan Guo Min Dang atas Tiongkok Daratan dan digantikan oleh Gong Chan Dang yang berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 Oktober 1949 dengan nama Republik Rakyat Tiongkok.

Peta kekuasaan pemerintah nasionalis (pink)dan komunis (merah)

Daftar pustaka:

Joelan, Nio. (1952). Tiongkok Sepanjang Abad. Jakarta: Balai Pustaka

Sukisman, W.D. (1993). Sejarah Cina Kontemporer: Dari Revolusi Nasional Melalui Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Tim Program BSB (Belajar Sambil Bermain). (2011). Sekilas Sejarah Dunia. Bali:Yayasan Gemah Ripah.

Adryamarthanino, Verelladevanka. (2022). Perjanjian San Fransisco, Pakta Damai Jepang dengan Sekutu. Diakses pada pukul 11.08 WIB 13 Juli 2022, dari https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/16/130000379/perjanjian-san-francisco-pakta-damai-jepang-dengan-sekutu?page=all

Fisher, Stephen. (2019). Chinese Civil War (1945–1949). Diakses pada pukul 17.05 WIB 12 Juli 2022, dari https://www.deviantart.com/stephen-fisher/art/Chinese-Civil-War-1945-1949-793767252

KBBI dari Kata Nasionalisme. Diakses pada pukul 16.40 WIB 12 Juli 2022, dari https://www.google.com/amp/s/kbbi.web.id/nasionalisme.html

Tan, Herman. (2020). Perjalanan Dinasti Qing (Dinasti Chao), Dinasti Terakhir Tiongkok. Diakses pada pukul 16.00 WIB 12 Juli 2022, dari https://www.tionghoa.info/perjalanan-dinasti-qing-qing-chao-dinasti-terakhir-tiongkok/

--

--

Studi Klub Sejarah UI
Studi Klub Sejarah UI

Written by Studi Klub Sejarah UI

Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

No responses yet